MAKALAH PROFESI KEPENDIDIKAN “KEBIJAKAN UMUM PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN GURU”


MAKALAH PROFESI KEPENDIDIKAN
“KEBIJAKAN UMUM PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN GURU”



Dosen Pengampu   :     Dr. Abdul Hadjranul Fatah, M.Si
                                       Drs. Arifin, M.Si
Nama Kelompok    :     Kelompok II
   Farida Meliana L. Tobing   (ACC 114 023)                        
   Ika Theresia                        (ACC 114 002)
   Vina Aprilia                        (ACC 114 013)
   Corry Anggraini                 (ACC 114 017)
   Rut Theresia Martha           (ACC 114 004)
   Firda Amalia                       (ACC 114 059)
   Lovina Tampubolon           (ACC 114 053)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS PENDIDIKAN DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
2015




 KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis bisa menyusun makalah ini dengan baik dan tepat waktunya yang berjudul “Kebijakan Umum Pengembangan dan Profesi Guru”.
Makalah ini penulis buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Profesi Kependidikan. Melalui terselesaikannya makalah ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi yang sangat membantu penulis dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun penulis. Penulis berharap makalah yang telah dibuat ini bisa bermanfaat serta menambah pengetahuan pembaca.

Palangkaraya, 8 Oktober  2015

Penulis,

( Kelompok II)



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................    i
DAFTAR ISI............................................................................................    ii
BAB I  PENDAHULUAN .......................................................................   1
1.1  Latar Belakang Masalah.....................................................................   1
1.2  Rumusan Masalah .............................................................................    2
1.3. Tujuan  Makalah .................................................................................   2
1.4  Metode Penulisan ...............................................................................    2          
BAB II  PEMBAHASAN ..........................................................................    3
              2.1 Definisi Guru Profesional ....................................................................    3
              2.2 Ciri-Ciri Guru Profesional ...................................................................    4
              2.3 Empat Tahap Mewujudkan Guru Profesional .....................................    7
              2.4 Alur Pengembangan Profesi dan Karir................................................   10
              2.5 Kebijakan dan pengembangan.............................................................   11
              2.6 Kebijakan Pemerataan Guru................................................................   12
BAB III  KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan..........................................................................................   18
3.2Saran.......................................................................................................  18                     
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1      LATAR BELAKANG
            Setiap warga Negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sebagaimana di amanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pendidikan bermutu hanya akan di peroleh melalui proses pembelajaran di dalam kelas yang dilakukan oleh guru yang professional dan mempunyai komitmen terhadap mutu.
            Banyak kontroversi yang terjadi di dunia pendidikan, kesadaran manusia akan esensi dan eksistensi kehadiran guru dalam mengemban tugas bagi proses kemanusiaan dan pemanusiaan yang bernilai tinggi secara pedagogis, kepribadian, dan sosial barangkali sama tuanya dengan sejarah peradaban manusia itu sendiri. Kini makin bangkit kesadaran publik bahwa tidak ada guru, tidak ada pendidikan formal. Telah muncul pula keyakinan kuat bahwa tidak ada pendidikan yang bermutu, tanpa kehadiran guru yang profesional dengan jumlah yang mencukupi. Pararel dengan ini muncul juga keyakinan yang kuat, jangan bermimpi menghadirkan guru yang profesional, kecuali persyaratan pendidikan, kesejahteraan, perlindungan, dan pemartabatan mereka terjamin.
            Ini adalah tantangan, khususnya bagi para guru, bagaimana menciptakan pembelajaran yang menggairahkan, menantang nafsu peserta didik, dan menyenangkan. Untuk itu, di perlukan guru yang kreatif, profesional, dan menyenangkan, sehingga mampu menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif, suasana pembelajaran yang menantang, dan mampu membelajarkan dengan menyenangkan, seakan-akan sedang jalan-jalan di mall. Hal ini penting, terutama karena dalam setiap pembelajaran, guru memiliki peranan yang sangat sentral, baik sebagai perencana, pelaksana, maupun evaluator pembelajaran, lebih-lebih di sekolah dasar. Hal ini berarti bahwa kemampuan profesional guru dalam menciptakan pembelajaran yang berkualitas sangat menentukan keberhasilan pendidikan secara keseluruhan. Kualitas pembelajaran sangat bergantung pada kemampuan profesional guru, terutama dalam memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik secara efektif, dan efesien.
            Lahirnya Undang-undang (UU) No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, merupakan bentuk nyata pengetahuan atas profesi guru dengan segala dimensinya. Di dalam UU No. 14 tahun 2005 ini disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, dan mengarahkan,melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sebagai implikasi dari UU No. 14 tahun 2005 guru harus menjalani proses sertifikasi untuk mendapatkan sertifikat pendidik. Guru yang diangkat sejak di undangkannya UU ini, menempuh program sertifikasi guru dalam jabatan yang di harapakan bisa tuntas sampai dengan tahun 2015.

1.2       RUMUSAN MASALAH
Masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.2.1    Apakah definisi guru profesional ?
1.2.2    Bagaimana ciri-ciri guru professional ?
1.2.3     Bagaimana cara mewujudkan guru professional ?
1.2.4    Bagaimana alur pengembangan profesi dan karir ?
1.2.5    Bagaimana kebijakan  pembinaan dan pengembangan ?
1.2.6    Bagaimana kebijakan pemerataan guru ?
1.3       TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.3.1    Agar pembaca dapat memahami definisi  guru professional.
1.3.2    Agar pembaca dapat mengetahui ciri-ciri guru professional.
1.3.3    Agar pembaca dapat mengetahui cara mewujudkan guru professional.
1.3.4    Agar pembaca mengetahui alur pengembangan profesi dan karir.
1.3.5    Agar pembaca memahami kebijakan  pembinaan dan pengembangan.
1.3.6    Agar pembaca mengetahui kebijakan pemerataan guru.
1.4       METODE PENULISAN
Adapun metode penulisan yang kami pergunakan adalah mencari buku referensi yang ada di perpustakaan, internet, dan koran yang kemudian kami buat menjadi rangkuman dalam bentuk makalah.







BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Guru Profesional
Definisi Guru Profesional - Dalam istilah profesional sering dikaitkan dengan orang yang menerima upah atau gaji dari apa yang sudah dia kerjakan, baik dikerjakan dengan sempurna atau tidak. Dalam hal ini yang dimaksud dengan profesional adalah untuk guru. Suatu pekerjaan yang profesional ditunjang oleh ilmu tertentu yang mendalam yang diperoleh dari lembaga pendidikan yang sesuai sehingga pekerjaannya berdasarkan keilmuan yang dimiliki yang bisa dipertanggung jawabkan.
Definisi guru profesional adalah kemampuan seorang guru untuk melaksanakan tugas pokoknya sebagai seorang pendidik dan pengajar yang meliputi kemampuan dalam merencanakan, menjalankan, dan mengevaluasi hasil pembelajaran. Prinsipnya adalah setiap guru harus dilatih secara periodik di dalam menjalankan tugasnya. Apabila jumlah guru sangat banyak, maka seorang kepala sekolah bisa meminta wakilnya atau guru senior untuk membantu melakukan supervisi.
Dalam definisi guru profesional, seorang guru harus mempunyai kompetensi kepribadian dimana hal tersebut adalah kemampuan kepribadian yang stabil dan dewasa, arif, bijaksana, berakhlak mulia dan berwibawa. Seorang guru juga harus mempunyai kompetensi profesional yang merupakan kemampuan dalam menguasai materi pembelajaran yang luas dan mendalam. Kemampuan menguasai materi antara lain tentang konsep dan struktur materi ajar, materi ajar yang ada di dalam kurikulum, hubungan konsep antar mata pelajaran terkait. Guru profesional juga harus mempunyai kompetensi sosial yang merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat.
Seorang guru profesional harus mempunyai empat kompetensi guru yang sudah ditetapkan dalam Undang-undang. Dalam keempat kompetensi guru seperti yang dimaksud dalam definisi guru profesional seorang guru harus mempunyai kemampuan dalam menguasai materi pembelajaran secara luas serta. Penguasaan ini meliputi konsep dan struktur, serta metoda keilmuan atau teknologi atau seni yang sesuai dengan materi ajar.




2.2 Ciri-Ciri Guru Profesional
“Professional” mempunyai makna yang mengacu kepada sebutan tentang orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengn profesinya. Penyandangan dan penampilan “professional” ini telah mendapat pengakuan, baik segara formal maupun informal. Pengakuan secara formal diberikan oleh suatu badan atau lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu, yaitu pemerintah dan atau organisasi profesi. Sedang secara informal pengakuan itu diberikan oleh masyarakat luas dan para pengguna jasa suatu profesi. Sebagai contoh misalnya sebutan “guru professional” adalah guru yang telah mendapat pengakuan secara formal berdasarkan ketentuan yang berlaku, baik dalam kaitan dengan jabatan ataupun latar belakang pendidikan formalnya. Pengakuan ini dinyatakan dalam bentuk surat keputusan, ijazah, akta, sertifikat, dsb baik yang menyangkut kualifikasi maupun kompetensi.
Sebutan “guru professional” juga dapat mengacu kepada pengakuan terhadap kompetensi penampilan unjuk kerja seorang guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai guru. Dengan demikian, sebutan “profesional’’ didasarkan pada pengakuan formal terhadap kualifikasi dan kompetensi penampilan unjuk kerja suatu jabatan atau pekerjaan tertentu. Dalam RUU Guru (pasal 1 ayat 4) dinyatakan bahwa: “professional adalah kemampuan melakukan pekerjaan sesuai dangan keahlian dan pengabdian diri kepada pihak lain”.
“Profesionalisme” adalah sebutan yang mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya. Seorang guru yang memiliki profesionalisme yang tinggi akan tercermin dalam sikap mental serta komitmenya terhadap perwujudan dan peningkatan kualitas professional melalui berbagai cara dan strategi. Ia akan selalu mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman sehingga keberadaannya senantiasa memberikan makna proesional.
“Profesionalitas” adalah sutu sebutan terhadap kualitas sikap para anggota suatu profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki untuk dapat melakukan tugas-tugasnya. Dengan demikian, sebutan profesionalitas lebih menggambarkan suatu “keadaan” derajat keprofesian seseorang dilihat dari sikap, pengetahuan, dan keahlian yang diperlukan untuk melaksanakan tugasnya. Dalam hal ini guru diharapkan memiliki profesionalitas keguruan yang memadai sehingga mampu melaksanakan tugasnya secara efektif.
“Profesionalisasi” adalah sutu proses menuju kepada perwujudan dan peningkatan profesi dalam mencapai suatu kriteria yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan profesionalisasi, para guru secara bertahap diharapkan akan mencapai suatu derajat kriteria profesional sesuai dengan standar yang telah ditetapkan menurut Undang-undang nomer 14 tahun 2005 yaitu berpendidikan akademik S-1 atau D-IV dan telah lulus Sertifikasi Pendidikan. Pada dasarnya profesionalisasi merupakan sutu proses berkesinambungan melalui berbagai program pendidikan dalam jabatan (in-service).
“Guru” adalah suatu sebutan bagi jabatan, posisi, dan profesi bagi seseorang yang mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan melalui interaksi edukatif secara terpola, formal, dan sistematis. Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen (pasal 1) dinyatakan bahwa: “Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengrahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah”.             Guru professional akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode. Keahlian yang dimiliki oleh guru profesional adalah keahlian yang diperoleh melalui suatu proses pendidikan dan pelatihan yang diprogramkan secara khusus untuk itu. Keahlian tersebut mendapat pengakuan formal yang dinyatakan dalam bentuk sertifikasi, akreditasi, dan lisensi dari pihak yang berwenang (dalam hal ini pemerintah dan organisasi profesi). Dengan keahliannya itu seorang guru mampu menunjukkan otonominya, baik secara pribadi maupun sebagai pemangku profesinya.
Di samping dengan keahliannya, sosok professional guru ditunjukkan melalui tanggung jawabnya dalam melaksanakan seluruh pengabdiannya. Guru professional hendaknya mampu memikul dan melaksanakan tanggung jawab sebagai guru kepada peserta didik, orang tua, masyarakat, bangsa, Negara, dan agamanya. Guru profesional mempunyai tanggung jawab pribadi, social, intelektual, moral, dan spiritual. Tanggung jawab pribadi yang mandiri yang mampu memahami dirinya. Tanggung jawab social diwujudkan melalui kompetensi guru dalam memahami dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan sosial serta memiliki kemampuan interaktif yang efektif. Tanggung jawab intelektual diwujudkan melalui penguasaaan berbagai perangkat pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menunjang tugas-tugasnya. Tanggung jawab spiritual dan moral diwujudkan melalui penampilan guru sebagai makhluk yang beragama yang perilakunya senantiasa tidak menyimpang dari norma-norma agama dam moral.
            Ciri profesi yang selanjutnya adalah kesejawatan, yaitu rasa kebersamaan di antara sesama guru. Kesejawatan ini diwujudkan dalam persatuan para guru melalui organisasi profesi dan perjuangan, yaitu PGRI. Melalui PGRI para guru mewujudkan rasa kebersamaannya dan memperjuangkan martabat diri dan profesinya di atas, pada dasarnya telah tersirat dalam kode Etik Guru Indonesia sebagai pegangan professional guru.
            Sementara itu, para guru diharapkan akan memiliki jiwa profesionalisme, yaitu sikap mental yang senantiasa mendorong dirinya untuk mewujudkan dirinya sebagai petugas professional. Pada dasarnya profesionalisme itu, merupakan motivasi intrinsic pada diri guru sebagai pendorong untuk mengembangkan dirinya ke arah perwujudan profesional. Kualitas profesionalisme didukung oleh lima kompetensi sebagai berikut :
1.      Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang ideal
2.      Meningkatkan dan memelihara citra profesi
3.      Senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilannya
4.      mengejar kualitas dan cita cita dalam profesi
Dalam UU Guru pasal 5 ayat (1) dikatakan bahwa profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip professional sebagai berikut :
a.   Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealism
b.   Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya
c.   Memiliki kompetensis yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya
d.   Mematuhi kode etik profesi
e.   Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas
f.    Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya
g.   Memiliki kesempatan untuk mengembnagkan profesinya secara berkelanjutan
h.   Memperoleh perlindungan hokum dalam melaksanakan tugas profesionalnya
      memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum


            Undang-undang ini memberikan landasan kepastian hukum yang untuk perbaikan guru di masa depan khususnya yang berkenaan dengan profesi, kesejahteraan, jaminan sosial, hak dan kewajiban, serta perlindungan. Beberapa substansi RUU Guru yang bernilai “pembaharuan” untuk mendukung profesionalitas dan kesejahteraan guru antara lain yang berkenaan :
(1). Kualifikasi dan kompetensi guru : yang mensyaratkan kualifikasi akademik guru minimal lulusan S-1 atau Diploma IV, dengan kompetensi sebagai agen pembelajaran yang meliputi kompetensi pedagogic, kepribadian, professional, dan social.
(2). Hak guru : yang berupa penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum berupa gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait tugasnya sebagai guru. (Pasal 15 Ayat )
(3). Kewajiban guru ; untuk mengisi keadaan darurat adanya wajib kerja sebagai guru bagi PNS yang memenuhi persyaratan.
(4). Pengembangan profesi guru; melalui pendidikan guru yang lebih berorientasi pada pengembangan kepribadian dan profesi dalam satu lembaga yang terpadu.
(5). Perlindungan; guru mendapat perlindungamn hukum dalam berbagai tindakan yang merugikan profesi, kesejahteraan, dan keselamatan kerja.
(6). Organisasi profesi; sebagai wadah independen untuk meningkatkan kompetisi karir, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteran dan atau pengabdian, menetapkan kode etik guru, memperjuangkan aspirasi dan hak-hak guru.
2.3 Empat Tahap Mewujudkan Guru Profesional
Kesadaran untuk menghadirkan guru dan tenaga kependidikan yang profesional sebagai sumber daya utama  pencerdas  bangsa,  barangkali  sama  tuanya  dengan  sejarah  peradaban  pendidikan.  Di Indonesia,  khusus  untuk  guru,  dilihat  dari  dimensi  sifat  dan  substansinya,  alur  untuk mewujudkan guru yang benar-benar profesional, yaitu:
(1) penyediaan guru berbasis perguruan tinggi,
(2)  induksi guru  pemula  berbasis  sekolah, 
(3)  profesionalisasi  guru  berbasis  prakarsa  institusi,  dan 
(4) profesionalisasi guru berbasis individu atau menjadi guru madani.


            Berkaitan  dengan  penyediaan  guru,  UU  No.  14  Tahun  2005  tentang  Guru  dan  Dosen  dan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru telah menggariskan bahwa penyediaan guru menjadi kewenangan lembaga pendidikan tenaga kependidikan, yang dalam buku ini disebut sebagai penyediaan  guru  berbasis  perguruan  tinggi.
Menurut  dua  produk  hukum  ini,  lembaga  pendidikan tenaga  kependidikan  dimaksud  adalah  perguruan  tinggi  yang  diberi  tugas  oleh  pemerintah  untuk
menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan  dasar,  dan/atau  pendidikan  menengah,  serta  untuk  menyelenggarakan  dan mengembangkan ilmu kependidikan dan nonkependidikan.
Guru  dimaksud  harus  memiliki  kualifikasi  akademik  sekurang-kurangnya  S1/D-IV  dan bersertifikat  pendidik.  Jika  seorang  guru  telah  memiliki  keduanya,  statusnya  diakui  oleh  negara sebagai guru profesional. UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen maupun PP No. 74 tentang Guru,  telah  mengamanatkan  bahwa  ke  depan,  hanya  yang  berkualifikasi  S1/D-IV  bidang kependidikan dan non-kependidikan yang memenuhi  syarat  sebagai guru.  Itu pun  jika mereka  telah menempuh  dan  dinyatakan  lulus  pendidikan  profesi.  Dua  produk  hukum  ini menggariskan  bahwa peserta  pendidikan  profesi  ditetapkan  oleh  menteri,  yang  sangat  mungkin  didasari  atas  kuota kebutuhan formasi.
Khusus untuk pendidikan profesi guru, beberapa amanat penting yang dapat disadap dari dua produk hukum ini.
·         Pertama, calon peserta pendidikan profesi berkualifikasi S1/D-IV.
·         Kedua, sertifikat pendidik  bagi  guru  diperoleh  melalui  program  pendidikan  profesi  yang  diselenggarakan  oleh perguruan  tinggi  yang memiliki  program  pengadaan   tenaga  kependidikan  yang  terakreditasi,  baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, dan ditetapkan oleh pemerintah.
·         Ketiga, sertifikasi pendidik bagi calon guru harus dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel.
·         Keempat,  jumlah  peserta  didik  program  pendidikan  profesi  setiap  tahun  ditetapkan  oleh Menteri.
·         Kelima, program pendidikan profesi diakhiri dengan uji kompetensi pendidik.
·         Keenam, uji kompetensi  pendidik  dilakukan  melalui  ujian  tertulis  dan  ujian  kinerja  sesuai  dengan  standar kompetensi.
·         Ketujuh,  ujian  tertulis  dilaksanakan  secara  komprehensif  yang  mencakup  penguasaan:
1.      wawasan  atau  landasan  kependidikan,  pemahaman  terhadap  peserta  didik,  pengembangan kurikulum  atau  silabus, perancangan pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar;
2.      materi pelajaran secara  luas  dan  mendalam  sesuai  dengan  standar  isi  mata  pelajaran,  kelompok  mata  pelajaran, dan/atau program yang diampunya; dan
3.      konsep-konsep disiplin keilmuan,  teknologi, atau  seni yang  secara  konseptual menaungi materi  pelajaran,  kelompok mata  pelajaran,  dan/atau  program yang  diampunya.
·         Kedelapan,  ujian  kinerja  dilaksanakan  secara  holistik  dalam  bentuk  ujian  praktik pembelajaran yang mencerminkan penguasaan kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial pada satuan pendidikan yang relevan.
Lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 dan PP No. 74 Tahun 2008 mengisyaratkan bahwa ke depan hanya  seseorang  yang  berkualifikasi  akademik  sekurang-kurangnya  S1  atau  D-IV  dan  memiliki sertifikat pendidiklah yang “legal” direkruit  sebagai guru.  Jika  regulasi  ini dipatuhi  secara  taat asas, harapannya  tidak  ada  alasan  calon  guru  yang  direkruit  untuk  bertugas  pada  sekolah-sekolah  di Indonesia berkualitas di bawah  standar. Namun demikian,  ternyata  setelah mereka direkruit untuk menjadi  guru,  yang  dalam  skema  kepegawaian  negara untuk  pertama  kali berstatus  sebagai  calon pegawai negeri  sipil  (PNS) guru, mereka belum bisa  langsung bertugas penuh  ketika menginjakkan kaki pertama kali di kampus sekolah. Melainkan, mereka masih harus memasuki fase prakondisi yang disebut dengan induksi.
Ketika  menjalani  program  induksi,  diidealisasikan  guru  akan  dibimbing  dan  dipandu  oleh mentor  terpilih untuk kurun waktu sekitar satu tahun, agar benar-benar siap menjalani tugas-tugas profesional.  Ini pun tentu tidak mudah, karena di daerah pinggiran atau pada sekolah-sekolah yang nun  jauh  di  sana,  sangat  mungkin  akan  menjadi  tidak  jelas  guru  seperti  apa  yang  tersedia  dan bersedia menjadi mentor  sebagai  tandem  itu.  Jadi,  sunggupun  guru  yang  direkruit  telah memiliki kualifikasi minimum  dan  sertifikat  pendidik,  yang  dalam  produk  hukum  dilegitimasi  sebagai  telah memiliki kewenangan penuh, masih diperluan program induksi untuk memposisikan mereka menjadi guru yang benar-benar profesional.
            Pada banyak  literatur  akademik, program  induksi diyakini merupakan  fase  yang harus dilalui ketika  seseorang  dinyatakan  diangkat  dan  ditempatkan  sebagai  guru.  Program  induksi merupakan masa  transisi bagi  guru  pemula  (beginning  teacher)  terhitung mulai  dia petama  kali menginjakkan kaki di  sekolah  atau  satuan pendidikan hingga benar-benar  layak dilepas untuk menjalankan  tugas pendidikan dan pembelajaran secara mandiri.
Kebijakan  ini  memperoleh  legitimasi  akademik,  karena  secara  teoritis  dan  empiris  lazim dilakukan  di  banyak  negara.  Sehebat  apapun  pengalaman  teoritis  calon  guru  di  kampus,  ketika menghadapi  realitas dunia kerja,  suasananya akan  lain. Persoalan mengajar bukan hanya berkaitan dengan  materi  apa  yang  akan  diajarkan  dan  bagaimana  mengajarkannya,  melainkan  semua subsistem  yang  ada  di  sekolah  dan  di masyarakat  ikut mengintervensi  perilaku  nyata  yang  harus ditampilkan  oleh  guru,  baik  di  dalam maupun  di  luar  kelas. Di  sinilah  esensi  progam  induksi  yang tidak dibahas secara detail di dalam buku ini.
Ketika  guru  selesai  menjalani  proses  induksi  dan  kemudian  secara  rutin  keseharian menjalankan tugas-tugas profesional, profesionalisasi atau proses penumbuhan dan pengembangan profesinya  tidak  berhenti  di  situ.  Diperlukan  upaya  yang  terus-menerus  agar  guru  tetap memiliki pengetahuan  dan  keterampilan  yang  sesuai  dengan  tuntutan  kurikulum  serta  kemajuan  ilmu pengetahuan  dan  teknologi.  Di  sinilah  esensi  pembinaan  dan  pengembangan  profesional  guru. Kegiatan  ini  dapat  dilakukan  atas  prakarsa  institusi,  seperti  pendidikan  dan  pelatihan,  workshop, magang,  studi  banding,  dan  lain-lain  adalah  penting.  Prakarsa  ini menjadi  penting,  karena  secara umum  guru  pemula  masih  memiliki  keterbatasan,  baik  finansial,  jaringan,  waktu,  akses,  dan sebagainya.
2.4 Alur Pengembangan Profesi dan Karir
Dalam PP No.74 Tahun 2008, pengembangannya dan pembinaan guru dibedakan antara guru yang belum S1 dan yang sudah S1. Yang belum S1 ditingkatkan kualifikasi ntuk mendapatkan  ke LPTK yang terakreditasi, atau bisa ke Universitas Terbuka. Biaya ada 2 macam, ada yang dari pemerintah/biaya sendiri. Yang sudah S1 diadakan pembinaan dan pengembangan 4 kompetensi dalam bentuk diklat dan non diklat.
Diklat dapat dilakukan dengan :



a.      In House Training (IHT)
Pelatihan yang dilaksanakan secara internal oleh KKG atau oleh sekolah yang bersangkutan atau tempat lain yang ditunjuk untuk mengadakan pelatihan.
Aktivitas KKG antara lain :
-          Penyusunan silabus           -    Pengembangan metode
-          Penyusunan RPP               -    Penyusunan Bahan Ajar
-          Peningkatan kompetensi (misalnya ada guru yang dianggap tutor)
KKG merupakan wadah yang penting bagi guru. Selain KKG ada juga KKS (Kelompok Kerja Kepala Sekolah) dalam suatu gugus.
PKG (Pusat Kegiatan Guru) adalah dimana tempat untuk melaksanakan berbagai kegiatan bersama, contoh : diskusi, pembuatan RPP, dll. Disamping ada PKG juga ada Guru Pemandu yaitu guru yang memandu guru-guru lain dalam mengerjakan tugas.
b.      Kemitraan Sekolah
Sekolah yang dipandang baik bekerja sama dengan sekolah yang dipandang kurang baik.
Non Diklat dapat dilakukan dengan :
§  Seminar hasil penelitian, missal di PKG atau LPTK
§  Penelitian
§  Penulisan bahan ajar
§  Pembuatan media
§  Diskusi masalah pendidikan yang diadakan secara berkala dengan KKG yang bertempat di PKG.
2.5 Kebijakan dan pengembangan
Berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru adalah pendidik profesional dengan tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Dari Undang- undang tersebut, maka diharapkan seorang guru harus profesional. Selain itu, dengan adanya Undang-undang tersebut derajat guru pun mulai terangkat. Namun proses pengembangan guru menjadi lebih profesional tersebut merupakan masalah dan tanggung jawab komunal, bukan sporadis dan apriori. Lalu, apakah indikator-indikator guru profesional itu? Indikator-indikator tersebut bisa dilihat dari :


1. Kualifikasi pendidikan terdiri dari :
a. Berpendidikan S.1 dan atau D.4
b. Bersertifikasi pendidikan profesi guru.
2. Kinerja dalam kompetensi Akademik, Sosial, Pedagogik dan Profesional. Sedangkan 8 karakteristik profesi guru yakni :
1. Kode etik              
2. Pengetahuan yang terorganisir
3. Keahlian dan kompetensi yan bersifat khusus
4. Tingkat pendidikan minimal yang dipersyaratkan
5. Sertifikasi keahlian
6. Proses tertentu sebelum memangku profesi untuk bisa memangku tanggungjawab
7. Kesempatan untuk penyebarluasan dan pertukaran ide di antara anggota profesi
8.  Adanya tindakan disiplin dan batasan tertentu jika terjadi mal praktek oleh anggota profesi.
2.6 Kebijakan Pemerataan Guru
Hingga kini masih muncul kesenjangan pemerataan guru antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan, antarkabupaten/kota, dan antarprovinsi. Hal tersebut menunjukkan betapa rumitnya persoalan yang berkaitan dengan penataan dan pemerataan guru di negeri tercinta ini. Pemerintah berupaya mencari solusi terbaik untuk memecahkan persoalan rumitnya penataan dan pemerataan guru tersebut dengan menetapkan Peraturan Bersama Lima Menteri, yaitu: Mendiknas, Menneg PAN dan RB, Mendagri, Menkeu, dan Menag tentang Penataan dan PemerataanGuru Pegawai Negeri Sipil. 
Peraturan ini ditanda tangani tanggal 3 Oktober 2011 dan mulai efektif tanggal 2 Januari 2012. Dalam peraturan bersama ini antara lain dinyatakan, bahwa untuk menjamin pemerataan guru antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan, antarkabupaten/kota, dan/atau antarprovinsi dalam upaya mewujudkan peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan formal secara nasional dan pencapaian tujuan pendidikan nasional,guru pegawai negeri sipil dapat dipindah tugaskan pada satuan pendidikan di kabupaten/kota, dan provinsi lain.



1.Kebijakan dan Pemerataan Guru
            Dalam Peraturan bersama Mendiknas, Menneg PAN dan RB, Mendagri, Menkeu, dan Menag tentangPenataan dan Pemerataan Guru Pegawai Negeri Sipil, tanggal 3 Oktober 2011 dan mulai efektiftanggal 2 Januari 2012 secara eksplisit menyatakan bahwa:
a.   Kebijakan standardisasi teknis dalam penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan secara nasional ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional. Demikian juga Menteri Pendidikan Nasional mengkoordinasikan dan memfasilitasi pemindahan untuk penataan dan pemerataan guru PNS pada provinsi yang berbeda berdasarkan data pembanding dari Badan Kepegawaian Negara (BKN). Dalam memfasilitasi penataan dan pemerataan PNS di daerah dan kabupaten/kota, Menteri Pendidikan Nasional berkoordinasi dengan Menteri Agama.
b.   Menteri Agama berkewajiban membuat perencanaan, penataan, dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.
c.   Menteri Dalam Negeri berkewajiban untuk mendukung pemerintah daerah dalam hal penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan untuk memenuhi standardisasi teknis yang dikeluarkan oleh Menteri PendidikanNasional serta memasukkan unsur penataan dan pemerataan guru PNS ini sebagai bagian penilaian kinerja pemerintah daerah.
d.   Menteri Keuangan berkewajiban untuk mendukung penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan sebagai bagian dari kebijakan penataan PNS secara nasional melalui aspek pendanaan di bidang pendidikan sesuai dengan kemampuan keuangan negara.
e.   Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mendukung penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan melalui penetapan formasi guru PNS.
f.    Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya membuat perencanaan penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan yang menjadi tanggung jawab masing-masing.


2. Kewenangan Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota
a.   Dalam pelaksanaan kegiatan penataan dan pemerataan guru, gubernur bertanggung jawab dan wajib melakukan penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan,antarjenjang, dan antarjenis pendidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah provinsi yang kelebihan atau kekurangan guru PNS.
b.   Bupati/walikota bertanggung jawab dan wajib melakukan penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan di satuan pendidikanyang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota yang kelebihan dan kekurangan guruPNS. 
c.   Gubernur mengkoordinasikan dan memfasilitasi pemindahan guru PNS untuk penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan di wilayah kerjanya sesuai dengan kewenangannya.
d.   Bupati/Walikota mengkoordinasikan dan memfasilitasi pemindahan guru PNS untuk penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan di wilayah kerjanya sesuai dengan kewenangannya.
e.   Gubernur mengkoordinasikan dan memfasilitasi pemindahan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan kewenangannya untuk penataan dan pemerataan antarkabupaten/kota dalam satu wilayah provinsi. 
f.    Penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan didasarkan pada analisis kebutuhan dan persediaan guru sesuai dengan kebijakan standardisasi teknis yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional.
            Analisis kebutuhan disusun dalam suatu format laporan yang dikirimkan kepada Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama sesuai dengan kewenangannya masing-masing dan diteruskan ke Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Menteri Keuangan. Dalam kerangka pemerataan guru, diperlukan pemantauan dan evaluasi. Pemantauan dan evaluasi merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dalam kegiatan penataan dan pemerataanguru, khususnya guru PNS. Oleh karena itu secara bersama-sama Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Menneg PAN dan RB, dan Menteri Keuangan wajib memantau dan mengevaluasi pelaksanaan penataan dan pemerataan guru sesuai dengan kewenangan masing-masing. Sedangkan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarpendidikan di kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur sesuai dengan masing-masing wilayahnya.
Termasuk dalam kerangka ini, diperlukan juga pembinaan dan pengawasan. Norma-norma umum pembinaan dan pengawasan disajikan berikut ini:
1.   Secara Umum, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan penataan dan pemerataanguru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan dilaksanakan olehMenteri Dalam Negeri.
2.   Secara teknis, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan di pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dilaksanakan oleh Menteri Pendidikan Nasional.
3.   Menteri Agama melaksanakan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan padasatuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah di lingkungan Kementerian Agama.
4.   Gubernur melaksanakan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan dipemerintah kabupaten/kota. Darimana pendanaannya?
            Pendanaan penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, antarjenis pendidikan, atau antarprovinsi pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dibebankan pada APBN, dan penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, atau antarjenis pendidikan antarkabupaten/kota dalam satuprovinsi pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah provinsi dibebankan pada APBD provinsi. Sedangkan pendanaan penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, atau antarjenis pendidikan antarkabupaten/kota, atau antarprovinsi pada satuanpendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota dibebankan pada APBD kabupaten/kota.
Pelaksanaan pelaporan penataan dan pemerataan guru disajikan berikut ini.
1.      Bupati/Walikota membuat usulan perencanaan penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan di wilayahnya dan menyampaikannya kepada Gubernur paling lambat bulan Februari tahun berjalan. Kemudian Gubernur mengusulkan perencanaan seperti tersebut di atas, dan perencanaan penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan di wilayahnya kepada Menteri Pendidikan Nasional melalui Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan Menteri Agama sesuai dengan kewenangannya masing-masing palinglambat bulan Maret tahun berjalan.
2.      Bupati/Walikota membuat laporan pelaksanaan penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan di wilayahnya dan menyampaikannya kepada Gubernur paling lambat bulan April tahun berjalan. Kemudian Gubernur melaporkan pelaksanaan penataan dan pemerataan guru PNS kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melalui Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) dan Menteri Agama sesuai dengan kewenangannya masing-masing paling lambat bulan Mei tahun berjalan dan diteruskan ke Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Menteri Keuangan.
3.      Menteri Agama menyampaikan informasi tentang perencanaan dan pelaksanaan penataandan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikandi wilayah kerjanya dan menyampaikannya kepada Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi paling lambat bulan Mei tahun berjalan.
4.      Berdasarkan laporan pelaksanaan penataan dan pemerataan guru PNS dan informasi dari Kementerian Agama tersebut di atas, Menteri Pendidikan Nasional melakukan evaluasi dan menetapkan capaian penataan dan pemerataan guru PNS secara nasional paling lambat bulan Juli tahun berjalan.
5.  Hasil evaluasi disampaikan oleh Menteri Pendidikan Nasional kepada Menteri Keuangan, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Menteri Dalam Negeri untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan.







Sanksi bagi pihak-pihak yang tidak melaksanakan kebijakan ini adalah sebagai berikut:
1. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menghentikan sebagian atau seluruh bantuan finansial fungsi pendidikan dan memberikan rekomendasi kepada Kementerian terkait sesuai dengan kewenangannya untuk menjatuhkan sanksi kepada Bupati/Walikota atau Gubernur yang tidak melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan penataan dan pemerataan guru PNS antarsatuan pendidikan, antarjenjang, atau antarjenis pendidikan di daerahnya.
2.   Atas dasar rekomendasi tersebut di atas, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negaradan Reformasi Birokrasi menunda pemberian formasi guru PNS kepada Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3.   Atas dasar rekomendasi tersebut di atas, Menteri Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran dana perimbangan kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kotasesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4.   Atas dasar rekomendasi tersebut di atas, Menteri Dalam Negeri memberikan penilaian kinerja kurang baik dalam penyelenggaraan urusan penataan dan pemerataan guru PNS sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
















BAB III
PENUTUP

3.1    KESIMPULAN
            Definisi guru profesional adalah kemampuan seorang guru untuk melaksanakan tugas pokoknya sebagai seorang pendidik dan pengajar yang meliputi kemampuan dalam merencanakan, menjalankan, dan mengevaluasi hasil pembelajaran. Ciri- ciri guru professional :  mempunyai tanggung jawab pribadi, social, intelektual, moral, dan spiritual
Mewujudkan guru yang benar-benar profesional, yaitu :
(1) penyediaan guru berbasis perguruan tinggi,
(2)  induksi guru  pemula  berbasis  sekolah, 
(3)  profesionalisasi  guru  berbasis  prakarsa  institusi,  dan 
(4) profesionalisasi guru berbasis individu atau menjadi guru madani.
Pengembangannya dan pembinaan guru dibedakan antara guru yang belum S1 dan yang sudah S1. Yang belum S1 ditingkatkan kualifikasi ntuk mendapatkan  ke LPTK yang terakreditasi, atau bisa ke Universitas Terbuka. Sedangkan yang sudah S1 diadakan pembinaan dan pengembangan 4 kompetensi dalam bentuk diklat dan non diklat. Proses pengembangan guru menjadi lebih profesional tersebut merupakan masalah dan tanggung jawab komunal, bukan sporadis dan apriori.
Salah satu faktor utama penyebab kegagalan kebijakan ini adalah karena desain kebijakan tak memperhatikan secara saksama dinamika hubungan politik-ekonomi antara pemerintah pusat dan daerah. Di satu sisi, pemerintah pusat berkepentingan terhadap keberhasilan pemerataan dan penataan guru (PPG) karena akan menekan kebutuhan guru PNS. Jika PPG berhasil, di mana guru tidak lagi terkonsentrasi pada sekolah tertentu dan distribusi merata di semua sekolah, hal ini akan mengurangi angka kebutuhan guru nasional. Penurunan angka kebutuhan guru nasional pada gilirannya akan menekan alokasi APBN untuk membiayai belanja guru berupa gaji, tunjangan, dan sebagainya.

3.2    SARAN   
         Penulis menyarankan agar pembaca dapat memberikan masukan guna memperbaiki hasil pemikiran penulis yang masih sangat sederhana. Penulis juga menyarankan agar pemerintah dapat memperhatikan jalannya proes pembinaan dan pengembangan guru.




DAFTAR PUSTAKA

Mulyasa. 2009. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Satori, Djam’an,dkk. 2008. Profesi Keguruan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Yahya, Murip. 2013. Profesi Tenaga Kependidikan. Bandung: CV Pustaka Setia.


Comments

Popular Posts