MAKALAH KIMIA LINGKUNGAN "TOKSIKOLOGI KIMIA" UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
MAKALAH
KIMIA LINGKUNGAN
“
TOKSIKOLOGI KIMIA ’’
OLEH :
Kelompok : II ( Dua )
Anggota : 1. Alwiah Nor Aulia (
ACC 114 016) 2. Anipah (
ACC 114 011 )
3. Dennis Octavianus ( ACC 114 014 )
5. Feni Widya Halim ( ACC 114 076 )
6. Linda Sukanda ( ACC 114 010 )
7. Nuur Fitria Apriyani ( ACC 114 009 )
8. Rois Alfaizin ( ACC 114 015 )
9. Vina Aprilia ( ACC 114 013 )
Dosen Pengampu : 1. Drs. Abdul Mun’im S.Si, M.Sc.
2. Karelius, S.Si, M.Sc.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2015
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah Kimia Lingkungan tentang “
Toksikologi Kimia ”. Tujuan pembuatan makalah ilmiah ini adalah untuk memenuhi
salah satu tugas dari mata kuliah kimia lingkungan yang diampu oleh Drs. Abdul
Mun’im S.Si, M.Sc dan Karelius, S.Si, M.Sc.
Adapun makalah ilmiah kimia
lingkungan tentang toksikologi kimia ini telah kami usahakan semaksimal mungkin
dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu,
kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusunan
bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan
terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan
kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki makalah ilmiah kimia
lingkungan ini.
Kami mengharapkan semoga makalah
ilmiah kimia lingkungan tentang toksikologi kimia ini dapat diambil hikmah dan
manfaatnya sehingga dapat memberikan inspirasi
terhadap pembaca.
Palangkaraya, 16 Mei 2015
Penyusun
Daftar Isi
Kata Pengantar ......................................................................................................... i
Daftar Isi ......................................................................................................... ii
BAB I
Pendahuluan ......................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah......................................................................................................... 1
1.3. Tujuan penulisan ......................................................................................................... 2
1.4. Manfaat Penulisan......................................................................................................... 2
1.5. Metode Penulisan ......................................................................................................... 3
BAB II
Pembahasan ......................................................................................................... 4
2.1. Pengertian Toksikologi
2.2. Klasifikasi Bahan Toksik
dan karakteristik Pemaparan 5
2.3.
Jalur Masuk
dan Tempat Pemaparan
2.4. Jalur Waktu dan Frekuensi Pemaparan
2.5.
Interaksi
Bahan Kimia dan Hubungan Dosis-Respons
2.6. Adsorbsi, Distribusi, dan Ekskresi
Toksikan
2.7. Biotransforma
2.8. Efek Toksikan
BAB III
Penutup ......................................................................................................... 17 3.1. Kesimpulan ......................................................................................................... 17
3.2.
Saran ......................................................................................................... 17 3.3. Penurup ......................................................................................................... 17
Daftar
Pustaka ......................................................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Toksikologi adalah ilmu yang menetapkan batas aman
dari bahan kimia (Casarett and Doulls, 1995). Selain itu toksikologi juga
mempelajari atau kerusakan (cedera) pada organisme (hewan, tumbuhan, manusia)
yang diakibatkan oleh suatu materi substansi (energy), mempelajari racun, tidak
saja efeknya, tetapi juga mekanisme terjadinya efek tersebut pada organisme dan
mempelajari kerja kimia yang merugikan terhadap organisme. Banyak sekali peran
toksikologi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi bila dikaitkan dengan
lingkungan dikenal istilah toksikologi lingkungan dan ekotoksikologi.
Toksikologi
lingkungan adalah ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik yang dihasilkan
dari suatu kegiatan dan menimbulkan pencemaran lingkungan (Cassaret, 2000) dan
Ekotoksikologi adalah ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik pada mahluk
hidup, khususnya populasi dan komunitas termasuk ekosistem, termasuk jalan
masuknya agen dan interaksi dengan lingkungan (Butler, 1978). Dengan demikian ekotoksikologi merupakan bagian dari toksikologi
lingkungan. Adanya proses modernisasi yang
akan menaikan tingkat konsumsi masyarakat sehingga produksi juga akan meningkat
dan akan mengakibatkan industrialisasi serta penggunaan energi akan meningkat
yang tentunya akan meningkatkan resiko toksikologis.
Proses industrialisasi akan memanfaatkan bahan baku kimia, fisika, biologi
yang akan menghasilkan buangan dalam bentuk gas, cair, dan padat yang
meningkat. Buangan ini tentunya akan menimbulkan perubahan kualitas lingkungan
yang mengakibatkan resiko pencemaran, sehingga resiko toksikologi juga akan
meningkat. Oleh karena itulah perlu adanya perhatian khusus terhadap
toksikologi itu sendiri, maka dari itu kami melakukan pembahasan yang lebih
mendalam tentang toksikologi.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan
makalah ini diantaranya :
1. Apa pengertian toksikologi
dan toksik ? 2. Bagaimana klasifikasi bahan toksik dan
karakteristik pemaparannya ? 3. Bagaimana
jalur masuk dan tempat pemaparan ?
4. Bagaimana
jalur waktu dan frekuensi pemaparan ?
5. Bagaimana
interaksi bahan kimia dan hubungan dosis-respons
? 6. Apa
itu adsorbsi, distribusi, dan ekskresi toksikan ? 7. Bagaimana berlangsungnya biotransformasi toksikan ? 8. Apa
saja efek toksikan ?
1.3. Tujuan Penulisan Tujuan
dalam penulisan makalah ini, yaitu : 1. Mengetahui pengertian
toksikologi dan toksik. 2.Mengetahui
klasifikasi bahan toksik dan
karakteristik pemaparannya.
3. Mengetahui
jalur masuk dan tempat pemaparan. 4. Mengetahui jalur waktu dan frekuensi
pemaparan. 5. Mengetahui
interaksi bahan kimia dan hubungan
dosis-respons. 6. Mengetahui
adsorbsi, distribusi, dan ekskresi toksikan. 7. Mengetahui
biotransformasi toksikan. 8. Mengetahui
efek toksikan.
1.4. Manfaat
Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini, yaitu :
1. Diharapkan dapat memahami pengertian toksikologi dan toksik. 2. Diharapkan dapat memahami klasifikasi bahan toksik dan karakteristik pemaparannya.
3. Diharapkan dapat memahami jalur masuk dan tempat pemaparan. 4. Diharapkan dapat memahami perilaku menyimpang yang dapat terjadi pada masa remaja.
5. Diharapkan dapat memahami langkah-langkah untuk menghadapi perkembangan remaja.
6. Diharapkan dapat memahami adsorbsi, distribusi, dan ekskresi toksikan.
7. Diharapkan dapat memahami biotransformasi toksikan.
8. Diharapkan dapat memahami efek toksikan.
Manfaat penulisan makalah ini, yaitu :
1. Diharapkan dapat memahami pengertian toksikologi dan toksik. 2. Diharapkan dapat memahami klasifikasi bahan toksik dan karakteristik pemaparannya.
3. Diharapkan dapat memahami jalur masuk dan tempat pemaparan. 4. Diharapkan dapat memahami perilaku menyimpang yang dapat terjadi pada masa remaja.
5. Diharapkan dapat memahami langkah-langkah untuk menghadapi perkembangan remaja.
6. Diharapkan dapat memahami adsorbsi, distribusi, dan ekskresi toksikan.
7. Diharapkan dapat memahami biotransformasi toksikan.
8. Diharapkan dapat memahami efek toksikan.
1.5. Metode
Penulisan
Dalam
mencari informasi-informasi yang relevan untuk mengetahui hal-hal yang
berkaitan dengan psikologi perkembangan remaja dapat digunakan beberapa metode
penulisan, yaitu :
1.5.1. Metode Pencarian Data Melalui Internet
Dengan
menggunakan metode pencarian data melalui internet, dilakukan dengan cara
mencari berbagai literatur-literatur yang berkaitan dengan toksikologi kimia melalui
media elektronik berupa internet.
1.5.2. Metode Pencarian Data Melalui Studi Pustaka
Dengan
menggunakan metode pencarian data melalui studi pustaka, dilakukan dengan cara
mencari berbagai literatur-literatur yang berkaitan dengan toksikologi melalui
buku, jurnal, surat kabar, majalah, dan lain
sebagainya. Tetapi hanya berhubungan dengan literatur yang bersifat
tulisan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Toksikologi
Toksikologi adalah studi mengenai efek yang tidak
diinginkan dari zat-zat kimia terhadap organisme hidup. Jadi, kalau dilihat
dari definisi tersebut tidak perlu lagi kata kimia dituliskan sesudah toksikologi
seperti yang dituliskan dalam judul makalah ini, meskipun zat toksik bisa juga
berasal dari tumbuhan dan binatang.
Gabungan antara berbagai efek potensial yang merugikan
serta terdapatnya keanekaragaman bahan kimia dilingkungan membuat toksikologi
sangat luas cakupannya. Toksikologi meliputi penelitian toksisitas bahan-bahan
kimia yang digunakan, misalnya:(1). Dibidang kedokteran untuk tujuan
diagnostik, pencegahan, dan terapeutik, (2). Dibidang industri makanan sebagai
zat tambahan lansung maupun tidak langsung. (3). Sebagai pestisida , zat
pengatur pertumbuhan, penyerbuk buatan, dan (4). Dibidang industry kimia
sebagai pelarut, reagen, dan sebagainya.
Pencegahan keracunan memerlukan perhitungan terhadap
toksisitas (toxicity), hazard (bahaya), risk (resiko), dan safety (keamanan). Hazard zat kimia berarti kemungkinan zat
kimia tersebut membuat cedera, sedangkan dalam bahasa Indonesia hazard
diterjemahkan sebagai “bahaya”. Hazard berbeda
pengertiannya dengan toksisitas, yang berarti deskripsi dan kuantifikasi
sifat-sifat toksik suatu zat kimia. Hazard dapat berbeda tergantung cara
pemaparan zat kimia tersebut. Zat X dalam bentuk cairan misalnya akan lebih
berbahaya (hazardous) daripada bentuk butiran karena lebih mudah menempel
dikulit dan diserap. Suatu zat kimia dalam bentuk gas akan menimbulkan hazard
lebih besar daripada bentuk cair, karena dapat menyebar luas di udara dan
mengenai banyak orang sekaligus. Namun, bila gas disimpan dalam tangki dengan
baik dan diruang sejuk maka hazard akan menjadi lebih kecil.
Risk didefinisikan sebagai besarnya
kemungkinan suatu zat kimia untuk menurunkan keracunan. Hal ini terutama
tergantung dari besarnya dosis yang masuk dalam tubuh. Peningkatan dosis
ditentukn oleh tingginya konsentrasi, lama dan seringnya pemaparan serta cara
masuknya zar tersebut masuk kedalam tubuh. Semakin besar pemaparan terhadap zat
kimia maka semakin besar pula resiko keracunan.
Keamanan suatu xenobiotik
perhitungannya sukar dipahami. Hal ini disebabkan perlu memperhitungkannya
keamanan dan menerapkan faktor keamanan, yang kadang kala merupakan estimasi
yang sering berlebihan. Manusia tidak dapat dipakai sebagai hewan percobaan
untuk menilai xenobiotik seperti biasanya yang dilakukan terhadap obat karena
tidak etis. Oleh karena itu,terpaksa perhitungan harus didasarkan estimasi
toksisitas dan bahaya terhadap suatu zat kimia melalui data yang diperoleh
melaui hewan percobaan. Karena ada perbedaan antara sifat manusia dan hewan
maka percobaan harus memperhitungkan faktor keamanan yang menurut consensus
ilmiah sebesar 100. Hal ini menyebabkan diterimanya standar pemaparan seperti:
Acceptable Daily Intake (ADI), Tolerable Weekly Intake ( TWI), Maximal
Allowable Concentration, Tolerence Level, dan sebagainya.
2.2. Klasifikasi Bahan Toksik
dan karakteristik Pemaparan
a. Klasifikasi Bahan
Toksik
Bahan-bahan toksik dapat diklasifikasikan dalam
berbagai cara, tergantung dari minat dan tujuan pengelompokkannya. Sebagai
contoh pengklasifikasian berdasarkan:
1. Organ
targetnya: hati, ginjal, system hematopotik, dan lain-lain.
2. Penggunaannya:
pestisida, pelarut, aditif makanan, dan lain-lain.
3. Sumbernya:
toksik tumbuhan dan binatang.
4. Efeknya:
kanker, mutasi, kerusakan hati, dan sebagainya.
5. Fisiknya:
gas, debu, cair.
6. Sifatnya:
mudah meledak.
7. Kandungan
kimianya: amina aromatic, hidrokarbon halogen, dan lain-lain.
Tidak ada satupun klasifikasi yang sesuai untuk
seluruh spectrum dari bahan toksik. Kombinasi dari berbagai system klasifikasi
atau berdasarkan faktor-faktor lainnya mungkin diperlukan untuk memberikan
system peringkat terbaik untuk maksud tertentu. Meskipun klasifikasi yang
mempertimbangkan komposisi kimiawi dan biologis dari bahan serta karakteristik
pemaparan akan lebih bermanfaat untuk tujuan pengendalian dan pengaturan dari
pemakaian zat-zat toksik.
b.
Karakteristik Pemaparan
Efek
merugikan (toksik) pada sistem biologis dapat disebabkan oleh bahan kimia yang
mengalami biotransformasi dan dosis serta susunannya cocok untuk menimbulkan
keadaan toksik. Respon terhadap bahan toksik tersebut antara lain tergantung
kepada sifat fisik dan kimia, situasi paparan, kerentanan sistem biologis,
sehingga bila ingin mengklasifiksikan toksisitas suatu bahan harus mengetahui
macam efek yang timbul dan dosis yang dibutuhkan serta keterangan mengenai
paparan dan sasarannya.
Perbandingan
dosis lethal suatu bahan polutan dan perbedaan jalan masuk dari paparan sangat
bermanfaat berkaitan dengan absorbsinya. Suatu bahan polutan dapat diberikan
dalam dosis yang sama tetapi cara masuknya berbeda. Misalnya bahan polutan
pertama melalui intravena, sedangkan bahan lainnya melalui oral, maka dapat
diperkirakan bahwa bahan polutan yang masuk melalui intravena memberi reaksi
cepat dan segera. Sebaliknya bila dosis yang diberikan berbeda maka dapat
diperkirakan absorbsinya berbeda pula, misalnya suatu bahan masuk kulit
dengan dosis lebih tinggi sedangkan lainnya melalui mulut dengan
dosis yang lebih rendah maka, dapat diperkirakan kulit lebih tahan terhadap
racun sehingga suatu bahan polutan untuk dapat diserap melalui kulit diperlukan
dosis tinggi.
Oleh
karena itu, untuk dapat mengetahui karakteristik lengkap tentang bahaya
potensial dan toksisitas dari suatu bahan kimia tertentu perlu diketahui tidak
hanya tipe efek yang dihasilkan dan dosis yang yang diperlukan untuk
menghasilkan efek tersebut, tetapi juga informasi mengenai sifat bahan kimianya
sendiri, pemaparannya, dan subjek. Faktor utama yang mempengaruhi toksisitas
yang berhubungan dengan situasi pemaparan terhadap bahan kimia tertentu adalah
jalur masuk kedalam tubuh dan frekuensi pemaparan.
2.3. Jalur Masuk
dan Tempat Pemaparan
Jalur masuk bahan toksik untuk dapat
masuk kedalam tubuh manusia adalah melalui saluran pencernaan atau gastro
intestinal (menelan/ingesti), paru-paru (inhalasi), kulit (topikal), dan jalur
parental lainnya (selain saluran usus/intestinal). Jalur lain tersebut diantaranya daalah intra muskuler, intra
dermal, dan sub kutan. Jalan masuk yang berbeda ini akan mempengaruhi
toksisitas bahan polutan. Bahan paparan yang berasal dari industri biasanya
masuk ke dalam tubuh melalui kulit dan terhirup, sedangkan kejadian “keracunan”
biasanya melalui proses tertelan. Bahan toksik umumnya menyebabkan respon yang paling cepat
apabila diberikan melalui jalur intravena. Di samping itu, jalur masuk dapat
mempengaruhi toksisitas dari bahan kimia. Sebagai contoh, suatu bahan kimia
yang didetoksifikasi di hati di harapkan akan menjadi kurang toksik bila
diberikan melalui sirkulasi sitematik (inhalasi). Pemaparan bahan-bahan toksik
di lingkungan industri seringkali sebagai hasil dari pemaparan melalui inhalasi
dan topical, sedangkan keracunan akibat kecelakaan atau bunuh diri seringkali
terjadi melalui ingesti oral.
2.4. Jalur Waktu
dan Frekuensi Pemaparan
Pemaparan bahan- bahan
kimia terhadap binatang biasanya dibagi dalam 4 (empat) kategori yaitu
akut,subakut, dan kronik. Pemaparan aktif adalah pemaparan terhadap suatu bahan
kimia selama kurang dari 24 jam. Biasanya pemaparan akut terjadi pada waktu
adanya kecelakaan misalnya pecahnya saluran gas di suatu perusahaan sehingga
para karyawan langsung menghirup gas beracun dalam konsentrasi yang cukup
tinggi (kasus pabrik Union-Carbide di Bhopal India) atau memang sengaja bunuh
diri misalnya seorang meminum satu gelas racun serangga (misalnya baygon) yang
kalau tidak cepat ketahuan bisa membawa kematian. Pemaparan akut biasanya
berhubungan dengan pemberian tunggal sedangkan subakut, subkronik dan kronik
merupakan pemaparan yang berulang. Contoh, sebuah percobaan akut telah
dilakukan terhadap hewan percobaan tikus putih dengan jalan memberikan ekstrak
ethanol dari bahan alam(tapak dara) secara oral untuk melihat efek ekstrak
tersebut terhadap penemuan kadar glukosa darah yang dilakukan di Pusat Penyakit
Tidak Menular DEPKES Salemba Jakarta.
Pemaparan subakut adalah pemaparan berulang terhadap
suatu bahan kimia untuk jangka waktu satu bulan atau kurang, pemaparan
subkronik untuk satu sampai tiga bulan, dan pemaparan kronik untuk lebih dari
tiga bulan. Ketiga jenis pemaparan tersebut dapat terjadi melalui jalur masuk
apapun, namun yang paling sering melalui jalur oral dengan bahan kimia yang ditambahkan
langsung dalam makanan. Untuk kebanyakan bahan kimia, efek toksik setelah
pemaparan tunggal sangat berbeda dibandingkan dengan efek yang dihasilkan oleh
pemaparan berulang. Sebagai contoh, manifestasi toksik akut utama dari benzena
adalah dipresi susunan saraf pusat, tetapi pemaparan berulang dapat menyebabkan
leukimia. Pemaparan akut terhadap bahan kimia yang cepat diserap cenderung
untuk menghasilkan toksik yang segera, namun pemaparan akut dapat pula
menghasilkan beberapa efek akut setelah setiap pemberian, disamping efek jangka
panjang ,ambang rendah, dan efek kronik dari bahan tersebut.
Faktor penting lain yang berhubungan dengan waktu
dalam menjelaskan karakteristik pemaparan adalah frekuensi pemberian. Secara
umum dosis yang terbagi-bagi akan mengurangi efek yang ditimbulkannya. Suatu
dosis tunggal dari suatu zat yang menghasilkan efek berat secara cepat mungkin akan menghasilkan efek yang
kurang dari setengahnya bila di berikan dalam dua dosis terpisah, dan tidak
menimbulkan efek apa-apa bila diberikan
secara berkala dalam 10 kali untuk beberapa jam atau hari. Efek toksik
kronik terjadi bila bahan kimia terakumulasi di dalam sistem biologis(absorpsi
melebihi biotransformasi ekskresi), atau bila menghasilkan efek toksik yang
tidak pulih kembali,atau bila tidak cukup dari sistem biologis untuk melakukan
pemulihan dari kerusakan dalam interval frekuensi pemaparan. Bila tingkat
eliminasi lebih kecil dari pada tingkat absorpsi, bahan toksik biasanya tidak
terakumulasi secara tetap, namun mencapai suatu keadaan keseimbangan bila
tingkat eliminasi sama dengan tingkat pemberian.
2.5. Interaksi Bahan
Kimia dan Hubungan Dosis-Respons
a. Interaksi Bahan Kimia
Interaksi bahan kimia dapat terjadi melalui sejumlah
mekanisme seperti perubahan dalam absorpsi, pengikatan protein, dan biotransformasi atau ekskresi dari satu atau dua zat toksik yang
berinteraksi. Efek dari dua bahan kimia yang diberikan secara bersamaan akan
menghasilkan suatu respon yang mungkin hanya sekedar aditif dari respon
individual masing-masing atau mungkin lebih besar atau lebih kecil dari yang
diharapkan. Beberapa terminologi telah digunakan untuk menjelaskan interaksi
farmakologi dan toksikologi tersebut.
Efek aditif adalah suatu situasi dimana efek gabungan
dari dua bahan kimia sama dengan jumlah dari efek masing-masing bahan bila
diberikan sendiri-sendiri (misalnya : 2+3=5). Sebagai contoh: bila dua
insektisida organofosfat diberikan secra bersamaan, hambatan terhadap
cholinesterase biasanya aditif. Efek sinergistik adalah situasi dimana efek
gabungan dari dua bahan kimia jauh melampaui penjumlahan dari tiap-tiap bahan
kimia bila diberikan secara sendiri-sendiri (misalnya: 2+3=20). Sebagai contoh,
CCl4 (karbon tetraklorida) dan C2H5OH (etanol)
yang keduanya adalah senyawa hepatotoksik bila secara bersamaan diberikan akan
menghasilkan kerusakan hati yang jauh lebih hebat dari pada jumlah
masing-masing efek secara individual.
Potensiasi adalah keadaan dimana suatu senyawa kimia
tidak mempunyai efek toksik terhadap
sistem atau organ tertentu, tapi bila ditambahkan ke bahan kimia lain akan
membuat bahan tersebut menjadi jauh lebih toksik(misalnya: 0+2=10). Sebagai
contoh, isopropanol tidak bersifat hepatotoksik, tetapiu bila zat tersebut
diberikan disamping pemberian karbon tetraklorida,efek hepatotoksik dari karbon
tetraklorida akan menjadi jauh lebih besar dibandingkan bila hanya diberikan
secara sendiri. Antagonistis adalah situasi dimana dua bahan kimia bila
diberikan secara bersamaan efeknya saling mempengaruhi dalam arti saling
meniadakan efek toksik, (misalnya: 4+6=8 atau 4+0=1). Efek antagonis dari
bahan-bahan kimia sering kali merupakan efek yang dikehendaki dalam toksikologi
dan merupakan dasar dari berbagai antidote.
b. Hubungan Dosis-Respons
Karakteristik pemaparan dan spectrum
efek secara bersamaan membentuk hubungan korelasi yang dikenal sebagai hubungan
dosis-respons. Hubungan tersebut merupakan konsep paling dasar dari
toksikologi. Pengertian dosis-respons dalam toksikologi
adalah proporsi dari sebuah populasi yang terpapar dengan suatu bahan dan akan mengalami respon
spesifik pada dosis, interval, waktu dan pemaparan
tertentu.
Ada beberapa asumsi yang harus dipertimbangkan sebelum
hubungan dosis-respons dapat sesuai digunakan sebagai berikut. 1.
Respon timbul karena adanya bahan kimia yang diberikan. 2. Respon pada kenyataannya
berhubungan dengan dosis.
Respon yang terpilih untuk
pengukuran, hubungan antara derajat respon dari sistem biologis dan jumlah bahan
toksik yang diberikan membentuk suatu asumsi bahwa hal ini terjadi secara
konsisten dan dipertimbangkan sebagai hal dasar dan klasik yang disebut
hubungan dosis-respons. Hal ini yang mendasari adanya dosis lethal (mematikan)
sebagai suatu indeks (LD50). LD50 adalah dosis tunggal dari suatu zat yang
secara statistik diharapkan dapat menyebabkan kematian sebanyak 50% dari
binatang percobaan. Meski penerapan LD50 saat ini menjadi isu masyarakat karena
adanya peningkatan perhatian dan perlindungan terhadap binatang percobaan,
namun LD50 merupakan hal penting untuk mengetahui karakteristik dan dari suatu
bahan kimia dengan demikian juga akan
dapat menetapkan tingkat bahayanya terhadap manusia. Lethal Dose 50 (LD 50) merupakan dosis tunggal derivat suatu bahan
tertentu pada uji toksisitas yang pada kondisi tertentu pula dapat menyebabkan kematian
50 % dari populasi uji (hewan percobaan). Aplikasi dosis respon pada nilai LD50
tidak ekuivalen dengan toksisitas tapi nilai ini dapat diinterpretasikan dalam
nilai TD(toxic dose) dan ED (effectife dose). Toxic Dose (TD) adalah
dosis dari suatu bahan yang dipaparkan pada suatu populasi dan pada
tingkat dosis tersebut sudah dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan tubuh
hewan percobaan.
2.6. Adsorbsi, Distribusi,
dan Ekskresi Toksikan
Selain
menyebabkan efek lokal di tempat kontak, suatu toksikan akan menyebabkan
kerusakan bila ia diserap oleh organisme itu. Sifat dan hebatnya efek zat kimia
terhadap organisme tergantung dari kadarnya di organ sasaran. Kadar ini tidak
hanya tergantung pada dosis yang diberikan tetapi juga pada beberapa faktor
lain misalnya derajat absorpsi, distribusi, pengikatan, dan ekskresi. Agar
dapat diserap (adsorbs), didistribusi, dan akhirnya dikeluarkan (ekskresi),
suatu toksikan harus melewati sejumlah membran sel. Suatu membran sel biasanya
terdiri atas lapisan biomolekuler yang dibentuk oleh molekul lipid dengan
molekul protein yang tersebar di seluruh membran. Suatu toksikan melewati
membran sel melalui empat mekanisme, yaitu difusi pasif lewat membran, filtrasi
lewat pori-pori membran, transpor dengan perantaraan carrier, dan
pencaplokan (pinositosis). Pada mekanisme terakhir ini sel berperan aktif dalam
transfer toksikan lewat membrannya.
a. Absorpsi Toksikan
Absorpsi
dapat terjadi lewat saluran cerna, paru-paru, kulit dan beberapa jalur lain.
Jalur utama bagi penyerapan toksikan adalah saluran cerna, paru-paru, dan
kulit. Namun dalam penelitian toksikologi, sering digunakan jalur khusus
seperti injeksi intraperitoneal, intramuskuler dan subkutan.
Saluran Cerna
Banyak
toksikan dapat masuk ke saluran cerna bersama makanan dan air minum, atau
secara sendiri sebagai obat atau zat kimia lain. Kecuali zat yang kaustik atau
amat merangsang mukosa, sebagian besar toksikan tidak menimbulkan efek toksik
kecuali kalau mereka diserap. Absorpsi dapat terjadi di seluruh saluran cerna.
Namun pada umumnya, mulut dan rektum tidak begitu penting bagi absorpsi zat-zat
kimia dari lingkungan.
Lambung
merupakan tempat penyerapan yang penting, terutama untuk asam-asam lemah yang
akan berada dalam bentuk ion-ion yang larut lipid dan mudah berdifusi.
Sebaliknya, basa-basa lemah akan sangat mengion dalam getah lambung yang
bersifat asam dan karenanya tidak mudah diserap. Perbedaan dalam absorpsi ini
diperbesar lagi oleh adanya plasma yang beredar. Asam-asam lemah terutama akan
berada dalam bentuk ion yang terlarut dalam plasma dan diangkut, sementara basa
lemah akan berada dalam bentuk ion-ion dan dapat berdifusi kembali ke lambung.
Di
dalam usus, asam lemah terutama akan berada dalam bentuk ion dan karenanya
tidak mudah diserap. Namun sesampai di darah, mereka mengion sehingga tidak
mudah berdifusi kembali. Sebaliknya, basa lemah terutama akan berada dalam
bentuk non-ion sehingga mudah diserap. Absorpsi usus akan lebih tinggi dengan
lebih lamanya waktu kontak dan luasnya daerah permukaan vili dan mikrovili
usus.
Saluran Napas
Tempat
utama bagi absorpsi di saluran napas adalah alveoli paru-paru. Hal ini terutama
berlaku untuk gas, misalnya CO, NO dan SO2; hal ini juga berlaku
untuk uap cairan misalnya benzen dan CCl4. Kemudahan absorpsi ini
berkaitan dengan luasnya permukaan alveoli, cepatnya aliran darah dan dekatnya
darah dengan udara alveoli.
Laju
absoprsi bergantung pada daya larut gas dalam darah; semakin mudah larut,
semakin cepat absorpsi. Namun keseimbangan antara udara dan darah ini lebih
lambat tercapai untuk zat kimia yang mudah larut, misalnya etilen. Hal ini
terjadi karena suatu zat kimia yang lebih mudah larut akan lebih mudah larut
dalam darah. Karena udara alveolar hanya dapat membawa zat kimia dalam jumlah
terbatas, maka diperlukan lebih banyak pernapasan dan waktu lebih lama untuk
mencapai keseimbangan. Bahkan diperlukan waktu lebih lama lagi kalau zat kimia
itu juga diendapkan dalam jaringan lemak.
Disamping
gas dan uap, aerosol cair dan partikel-partikel di udara dapat juga diserap.
Pada umumnya, partikel besar (> 10 mm) tidak memasuki saluran napas;
kalaupun masuk, mereka diendapkan di hidung dan dienyahkan dengan diusap,
dihembuskan dan berbangkis. Partikel yang sangat kecil (< 0,01 mm) lebih
mungkin terbuang ketika kita menghembuskan napas. Partikel berukuran 0,01-10 mm
diendapkan dalam berbagai bagian saluran napas. Partikel yang lebih besar
mungkin diendapkan di nasofaring dan diserap lewat epitel di daerah ini atau
lewat epitel saluran cerna setelah mereka tertelan bersama lendir.
Partikel-partikel yang lebih kecil diendapkan dalam trakea, bronki, dan
bronkioli, lalu ditangkap oleh silia di mukosa atau ditelan oleh fagosit.
Partikel-partikel yang dilempar ke atas oleh silia akan dibatukkan atau
ditelan. Fagosit yang berisi partikel-partikel akan diserap ke dalam sistem
limfatik. Beberapa partikel bebas dapat juga masuk ke saluran limfe.
Partikel-partikel yang dapat larut mungkin diserap lewat epitel ke dalam darah.
Secara kasar dapat
dikatakan bahwa 25 % partikel yang terhirup akan dikeluarkan bersama udara
napas, 50 % diendapkan dalam saluran napas bagian atas, dan 25 % diendapkan
dalam saluran napas bagian bawah.
Kulit
Pada
umumnya kulit relatif impermeabel, dan karenanya merupakan sawar (barrier)
yang baik untuk memisahkan organisme dari lingkungannya. Namun beberapa zat
kimia dapat diserap lewat kulit dalam jumlah cukup banyak sehingga menimbulkan
efek sistemik. Suatu zat kimia dapat diserap lewat folikel rambut atau lewat
sel-sel kelenjar keringat atau sel kelenjar sebasea. Tetapi penyerapan lewat
jalur ini kecil sekali sebab struktur ini hanya merupakan bagian kecil dari
permukaan kulit. Maka absorpsi zat kimia di kulit sebagian besar adalah
menembus lapisan kulit yang terdiri atas epidermis dan dermis.
Fase
pertama absorpsi perkutan adalah difusi toksikan lewat epidermis yang merupakan
sawar terpenting, terutama stratum korneum. Stratum korneum terdiri atas beberapa
lapis sel mati yang tipis dan rapat, yang berisi bahan (protein filamen) yang
resisten secara kimia. Sejumlah kecil zat-zat polar tampaknya dapat berdifusi
lewat permukaan luar filamen protein stratum korneum yang terhidrasi; zat-zat
non-polar melarut dan berdifusi lewat matriks lipid di antara filamen protein.
Stratum korneum manusia berbeda struktur dan sifat kimianya dari satu bagian
tubuh ke bagian lainnya, hal ini tercermin dari perbedaan permeabilitasnya
terhadap zat-zat kimia.
Fase
kedua absorpsi perkutan adalah difusi toksikan lewat dermis yang mengandung
medium difusi yang berpori, non-selektif, dan cair. Oleh karena itu, sebagai
sawar, dermis jauh kurang efektif dibandingkan stratum korneum. Akibatnya,
abrasi atau hilangnya stratum korneum menyebabkan sangat meningkatnya absorpsi
perkutan. Zat-zat asam, basa, dan gas mustard juga akan menambah aborpsi dengan
merusak sawar ini. Beberapa pelarut terutama dimetil sulfoksid, juga
meningkatkan permeabilitas kulit.
b. Distribusi Toksikan
Setelah
suatu zat kimia memasuki darah, ia didistribusi dengan cepat ke seluruh tubuh.
Laju distribusi ke setiap alat tubuh berhubungan dengan aliran darah di alat
tersebut, mudah tidaknya zat kimia itu melewati dinding kapiler dan membran
sel, serta afinitas komponen alat tubuh terhadap zat kimia itu.
Sawar (barrier)
Sawar
darah-otak terletak di
dinding kapiler. Disana sel-sel endotelial kapiler bertaut rapat sehingga hanya
sedikit atau tak ada pori-pori di antara sel-sel itu. Jadi toksikan harus
melewati endotelium kapiler itu sendiri. Tiadanya vesikel dalam sel-sel ini
menyebabkan kemampuan transpornya lebih rendah lagi. Akhirnya kadar protein
cairan interstisial otak rendah, berbeda dengan kadarnya dalam alat-alat tubuh
lain; oleh karena itu mekanisme transfer toksikan dari darah ke otak bukan
melalui pengikatan protein. Dengan demikian penetrasi toksikan ke dalam otak
bergantung pada daya larut lipidnya. Contoh, metilmerkuri yang mudah memasuki
otak dengan toksisitas utama pada sistem saraf pusat. Sebaliknya, senyawa
merkuri anorganik tidak larut dalam lipid, tidak mudah memasuki otak, dan
toksisitas utamanya bukan di otak, tetapi di ginjal karena air seni mudah
melarutkan merkuri anorganik.
c. Ekskresi Toksikan
Setelah adsorbsi dan distribusi dalam tubuh, toksikan
dapat dikeluarkan dengan cepat atau perlahan. Toksikan dikeluarkan dalam bentuk
asal, sebagai metabolit atau sebagai konjugat. Jalur utama ekskresi adalah
urine, tetapi hati dan paru-paru juga merupakan alat ekskresi penting untuk zat
kimia tertentu.
1. Ekskresi Urin
Ginjal embuang toksikan dari tubuh
dengan mekanisme yang serupa dengan mekanisme yang digunakan untuk membuang
hasil akhir metabolisme faali, yaitu dengan filtrasi glomerulus, difusi
tubuler, dan sekresi tubuler. Kapiler glomerulus memiliki pori-pori yang besar
(70 nm), karena itu sebagian toksikan akan lewat di glomerulus, kecuali
toksikan yang sangat besar (lebih besar dari BM 60.000) atau yang terikat erat
pada protein plasma. Toksikan dalam filtrat glomerulus akan mengalami absorpsi
pasif disel-sel tubuler bila koefisien partisi lipid/airnya tinggi, atau tetap
dalam lumen tubuler dan dikeluarkan bila merupakan senyawa polar.
2. Eksresi Empedu
Hati juga merupakan alat tubuh yang
penting untuk eksresi toksikan, terutama untuk senyawa yang polaritasnya tinggi
(anion dan katon), konjugat yang terikat pada protein lasma, dan senyawa yang
BM-nya lebih besar dari 300. Pada umumnya begitu senyawa ini berada dalam
empedu, senyawa ini tidak akan diserap kembali kedalam darah dan dikeluarkan
lewat feses. Tetapi ada pengecualian, misalnya konjugat glukuronoid yang dapat
dihidrolisis oleh flora usus menjadi toksikan bebas yang diserap kembali.
Pentingnya jalur empedu untuk eksresi beberapa zat kimia telah diperlihatkan
dengan jelas dalam percobaanyang menunjukkan bertambahnya toksisitas akut
beberapa kali lipat pada hewan yang saluran empedunya diikat. Contoh zat kimia
semacam itu adalah dietilstilbestrol (DES). Toksisitas DES meningkat 130 kali
pada tikus percobaan yang saluran empedunya diikat.
3. Eksresi Paru-paru
Zat yang berbentuk gas pada suhu
badan terutama dieksresikan lewat paru-paru. Cairan yang mudah menguap juga
dengan mudah keluar lewat udara ekspirasi. Cairan yang mudah larut misalnya
klorofom dan halotan mungkin dieksresikan sangat lambat karena ditimbun dalam
jaringan lemak dan karena terbatasnya volume ventilasi. Eksresi toksikan
melaluin paru-paru terjadi karena digusi sederhana lewat membran sel.
4. Ekskresi Jalur Lain
Toksikan
dapat dieliminasi dari tubuh melalui beberapa rute. Ginjal merupakan organ
penting untuk mengeluarkan racun. Beberapa xenobiotik diubah terlebih dahulu
menjadi bahan yang larut dalam air sebelum dikeluarkan dalam tubuh. Rute lain yang menjadi lintasan utama untuk
beberapa senyawa tertentu diantaranya : hati dan sistem empedu, penting dalam
ekskresi seperti DDT dan Pb ; paru dalam ekskresi gas seperti CO. Toksikan yang
dikeluarkan dari tubuh dapat ditemukan pada keringat, air mata dan air susu ibu
(ASI).
2.7. Biotransformasi Toksikan
Banyak zat kimia yang menjalani
biotransformasi atau transformasi metabolit didalam tubuh. Crosby (1998)
membagi mekanisme biotransformasi toksikan kedalam dua jenis utama yaitu : 1.Reaksi fase I, yang melibatkan
reaksi oksidasi, reduksi, dan lain-lain. 2.Reaksi fase II, merupakan produksi
suatu senyawa melalui konjugasi toksikan atau metabolitnya dengan suatu metabolit
endogen.
Karena itu, biotransformasi adalah
suatu proses yang umumnya mengubah senyawa awal menjadi metabolit, kemudian
membentuk konjugat. Tetapi, mungkin yang terjadi hanya salah satu reaksi saja.
Misalnya, benzene mengalami oksidasi pada reaksi fase I menjadi fenol, kemudian
berkonjugasi dengan asam sulfat pada reaksi fase II. Akan tetapi bila zat kimia
yang bereaksi adalah fenol, maka hanya akan terjadi konjugasi dengan asam
sulfat tanpa reaksi fase I. Metabolit dan konjugat biasanya lebih larut dalam
air dan lebih polar, karenanya lebih mudah diekskresi. Oleh karena itu,
biotransformasi dapat dianggap sebagai mekanisme detoksifikasi organisme
“pejamu”. Tetapi perlu diingat bahwa dalam kasus tertentu metabolit dapat lebih
toksik daripada senyawa asalnya. Reaksi semacam ini dikenal dengan bioaktivasi.
Senyawa tertentu yang stabil secara
kimia dapat diubah menjadi reaktif secar kimia. Reaksi ini biasanya dikatalisis
oleh system-sistem monooksigenesayang bergantung pada sitokrom P-450, tetapi
enzim-enzim lain seperti enzim dari flora usus, juga berperan dalm kasus
tertentu. Metabolit reaktif seperti epoksid dapat terikat secara kovalen pada
makromolekul sel dan menyebabkan nekrosis dan atau kanker. Metabolit lain, misalnya
radikal bebas dapat menyebabkan peroksida lipid dan mengakibatkan kerusakan
jaringan. Misalnya, karbon tetraklorida membentuk radikal triklorometil yang
menyebabkan peroksida lemak tak jenuh dan terikat secara kovalen pada
proteindan lemak tak jenuh.
2.8. Efek
Toksikan
Penggunaan bahan kimia oleh manusia terutama sebagai
bahan baku didalam industri semakin hari semakin meningkat. Walaupun zat kimia
sangat toksik sudah dilarang dan dibatasi pemakaiannya, seperti pemakaian
tetra-etil timbal (TEL) pada bensin, tetapi pemaparan terhadap zat kimia yang
dapat membahayakan tidak dapat dielakkan. Pemaparan bahan-bahan kimia terhadap
manusia bias bersifat kronik dan akut. Pemaparan akut biasanya terjadi karena
suatu kecelakaan atau disengaja (pada kasus bunuh diri atau dibunuh), dan
pemaparan kronik biasanya dialami oleh para pekerja terutama di lingkungan
industry-industri kimia.
Efek toksik dari bahan-bahan kimia
sangat bervariasi dalam sifat, organ sasaran maupun mekanisme kerjanya. Beberapa
bahan kimia dapat menyebabkan cedera pada tempat yang kena bahan tersebut (efek
local), bisa juga efek sistemik setelah bahan kimia diserap dan tersebar
kebagian organ lainnya. Efek toksik ini dapat bersifat reversible, artinya
dapat hilang dengan sendirinya atau irreversible, artinya akan menetap atau
bertambah parah setelah pajanan toksikan dihentikan. Efek irreversible (efek
Nirpulih) diantaranya karsinoma, mutasi, kerusakan saraf, dan sirosis hati.
Efek toksikan reversible (berpulih) bila tubuh terpajan dengan kadar yang
rendah atau untuk waktu yang singkat, sedangkan efek nirpulih terjadi bila
pajanan dengan kadar yang lebih tinggi dan waktu yang lebih lama.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Toksikologi adalah studi mengenai efek-efek yang tidak diinginkan dari
zat-zat kimia terhadap organisme hidup. Toksikologi juga membahas tentang
penilaian secara kuantitatif tentang organ-organ tubuh yang sering terpajang
serta efek yang di timbulkannya. Efek
merugikan/ toksik pada sistem biologis dapat disebabkan oleh bahan kimia yang
mengalami biotransformasi dan dosis serta susunannya cocok untuk menimbulkan
keadaan toksik. Respon terhadap bahan toksik tersebut antara lain
tergantung kepada sifat fisik dan kimia, situasi paparan, kerentanan sistem
biologis, sehingga bila ingin mengklasifiksikan toksisitas suatu bahan harus
mengetahui macam efek yang timbul dan dosis yang dibutuhkan serta keterangan
mengenai paparan dan sasarannya. Di dalam ekotoksikologi komponen yang penting adalah integrasi antara
laboratorium dengan peneltian lapangan.
3.2. Saran
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
sangat mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun agar dalam pembuatan
makalah selanjutnya bisa lebih baik lagi, atas perhatiannya penulis ucapkan
terimakasih.
3.3. Penutup
Demikian
makalah ini kami buat dengan sebenar-benarnya sesuai dengan
tugas yang telah diberikan oleh dosen pengampu. Kami tahu makalah kami ini
masih sangat jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami mohon kritik dan sarannya agar makalah berikutnya
menjadi lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmad, Rukaesih. 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta : Andi.
Bird, Tony. 1993. Kimia
Untuk Universitas. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Brady, James. E. 1999. Kimia Universitas Asas dan Struktur. Jakarta : Binaputra Aksara.
Cotton
dan Wilkinson . 2009 . Kimia Anorganik
Dasar . Jakarta : UI-Press.
Gunawan, Adi. dan Roeswati. 2004. Tangkas Kimia. Surabaya : Kartika.
Sukartono. 1993. Ilmu
Kimia. Jakarta : Erlangga.
Comments
Post a Comment